Loading...
Tuesday, 13 January 2015

Meski Hati ini Tak Bisa Memiliki

Memang kisah hidupku tak seindah cerita drama di televisi. Faktanya, aku adalah anak pungut. Jelas, kenapa sejak kecil ampek sekarang mama eh sekarang aku manggil beliau ibu, ibu selalu menganakemaskan Aldo. Dia adalah adik tiri laki-laki satu satunya. Ibu dan ayah adalah golongan keluarga kaya raya. Namun, aku tak merasa itu.
Hubunganku dengan adik tiri sangat akrab sebelum aku mengetahui kenyataan ini. Setelah itu, aku tak ingin menemuinya. Kepedihan ini sudah seperti takdir yang harus aku jalani.
Sekarang yang ada, aku harus berangkat ke kampus. Kututup layar laptop dan segera memanggil Riska, teman kosku. Selain menjadi mahasiswa aku bekerja sebagai pekerja paruh waktu di starbuck. Lumayan lah buat bayar kos. Sudah 3 tahun semenjak SMA kelas 1 aku sudah berpisah dengan ibu tiriku, aku diasingkan jauh dari keluarga. Juga karena hal itulah, mengapa aku selalu di tempatkan di sekolah yang berbeda dengan Aldo. Padahal, aku dan Aldo sepantaran hanya selisih 2 bulan lebih muda dariku. Aku adalah anak panti asuhan yang dipungut untuk mancing agar segera memperoleh keturunan. Memang sakit rasanya.
Walaupun semua kebutuhan dipenuhi, uang saku malah kelebihan aku tetap bekerja untuk nambah tabunganku. Aku harus bisa mandiri.
"Tera... Lihat tuh ada Rosi.. Gue cabut dulu ya!!", ceplosan Riska mengagetkanku.
Dia adalah orang pertama di kampus yang naksir sama aku, kebetulan aku juga naksir dia pada pandangan pertama. Aku pun tersenyum menyapanya.
Kami mengobrol menuju koridor perpustakaan. Karena sebelumnya kami memang sudah janjian kesana. Rosi sudah menjadi teman yang paling dekat denganku. Dia tahu apapun mengenaiku. Aku nyaman dengannya. Dia sangat sering membuatku tertawa ketika aku merasa tak kuat dengan cerita hidupku sendiri.
Dering telepon berdering menghentikan obrolan kami mengenai tugas mata kuliah siang itu. Aku harus pergi ke tempat pertemuan yang Aldo bilang padaku pada telpon itu. Dia rindu dan jauh jauh dari kotanya menuju kesini hanya untuk menemuiku. Rosi mengijinkanku untuk pergi.
Berat rasanya untuk melihat mukanya, namun aldo sangat memohon kepadaku. Hingga akhirnya aku pun juga ingin melegakan kerinduanku padanya. Ini adalah pertemuan pertama setelah kenyataan itu terungkap, 4 tahun silam.
Aku mencarinya di keramaian sebuah kedai di tengah mall kota ini. Hingga akhirnya hatiku berdebar ketika seseorang yang sedang duduk di meja itu berdiri, menatapku dan tersenyum serta melambaikan tangannya padaku. Aku ragu untuk melangkahkan kaki menuju ke mejanya. Aku pun berhenti dan menatap wajah cerianya. Ada apa denganku?. Aldo seperti seseorang yang tak ku kenal selama ini. Aku pun membalikkan badan dan berjalan keluar. Tak kusangka, sesosok mama yang kusayangi itu muncul lagi di pikiranku ketika beliau menjelaskan siapa aku sebenarnya dengan sebuah bentakan keras. Air mataku pun keluar, entah.
Aldo mengejarku hingga sampai di belakangku. Tangannya menarik tanganku, aku pun terhenti dan menatapnya seraya berkata bahwa aku akan menemuinya lagi besok.
"Tera! Aku kesini bukan untuk membahas itu, please ikut aku malam ini", Aldo berkata padaku seraya menggenggam erat tanganku untuk mengikutinya.
Sekarang, aku telah berada di mobilnya setelah diseretnya tadi. Aldo masih seperti dulu, selalu menjadi yang paling berkuasa. Lalu, Aku pun memberanikan diri untuk mengatakan suatu hal.
"Maaf do, jujur, aku masih belum bisa melupakan kejadian itu. Aku juga sudah lega bisa melihatmu lagi, sekarang aku harus pergi do", kataku.
"Kamu boleh pergi setelah mendengarkan apa yang harus aku bilang ke kamu ra..", kata Aldo.
"Aku ingin kamu bisa melupakan hubungan keluarga kita, kamu bukan kakak tiriku lagi, tapi sekarang kita teman.", kata Aldo.
"Ya, kita berteman sekarang.. Sekarang aku harus pergi", kataku sambil berusaha senyum padanya dan membuka kunci mobilnya.
Aldo berkata dengan nada keras bahwa dia telah mengetahui hal itu sejak umur 10 tahun. Hal itu, membuatku menghentikan langkahku dan berfikir. Jadi selama itu, Aldo sudah tau siapa aku? Apa karena itu juga dia selalu menjadi pembela setiap ibu memarahiku. Tak tahan rasanya, aku mengusap air mata yang terus mendera. Aku harus kuat, aku mengendalikan emosi sedih ini aku tegapkan badan seraya berjalan menuju area parkir motor.
Sebulan berlalu, Aldo yang dulu sering bertengkar bercanda kini menjadi khalayak teman sebaya. Kami tak saling bertemu, hanya sebatas jaringan sinyal dari operator telepon maupun internet. Aldo selalu perhatian kepadaku, seperti waktu aku masih menjadi bagian dari keluarganya.
Seusai magrib nanti, aku dan Riska beserta teman-teman lain harus sudah datang di halaman rumah Rosi. Dia rela menjajakan uangnya untuk memberikanku sebuah kejutan pesta ulang tahun untukku. Sungguh, aku sangat bahagia menerima ini. Mungkin, ini adalah hadiah ulang tahunku yang paling istimewa dari tahun tahun kemarin. Aku jadi teringat ketika ibu dan ayah selalu memberikan pesta ulang tahun untuk Aldo di setiap tanggal kelahirannya. Walaupun, mereka tak pernah memberikanku pesta seperti itu aku ikut bahagia dan merasa pernah diberi kejutan pesta ketika ulang tahun Aldo.
Aku terharu pada Rosi. Pesta semewah ini hanya ditujukan padaku. Aku menangis di acara pesta itu. Tak kuduga, malam itu juga Rosi menyatakan cinta padaku setelah acara selesai. Aku bingung, aku tak mempunyai sebuah jawaban. Rosi hanya tersenyum melihat tingkahku yang gugup. Dia bertingkah sangat dewasa. Rosi akan menunggu jawabanku entah kapan aku bisa menjawab. Dia berterimakasih padaku telah mendengarkan pengungkapan cintanya.
Saat itu, jam telah menunjukkan pukul 11 lebih 35 malam. Di Rumah Rosi hanya tinggal aku, riska dan 3 teman se kos lain. Kami ingin menhabiskan malam ini disini sampai derasnya hujan mereda.
Satu jam kemudian, hujan pun reda. Kami berlima pamit pulang. Kami hanya pamit pada Rosi, karena di rumah itu hanya Rosi seorang dan beberapa pembantunya.
Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di kos-kosan. Kami semua terkejut melihat seorang laki-laki yang tidur di depan kos kami. Siapa gerangan?? Aku pun juga sangat takut. Bajunya basah serta ada sebuah kresek hitam besar di meja teras. Akhirnya, Riska memberanikan diri untuk membangunkan laki-laki itu.
"Permisi mas.. Mas..", suara Riska sambil menggoyah-goyahkan bahunya.
Laki-laki itu terbangun dan sangat gelagapan. Karena petang, kami tak bisa mengira siapa laki-laki itu dengan jelas. Namun, semakin aku tatap mukanya. Astaga..!! Kenapa dia kemari???.
"ALDO?", kataku sambil nada terkejut.
Dia menungguiku sejak tadi malam, sekitar jam tujuh an. Dia berniat untuk memberiku surprise roti ulang tahun dan sekotak kado mungil. Aku hanya terdiam dan sangat terkejut. Teman-teman pun meninggalkanku berdua dengan Aldo di depan rumah.
"Terimakasih ya..", kataku sambil tersenyum.
Dia mengusapkan airmataku dan melarangku untuk menangis.
"Jika kamu tak keberatan, aku ingin mengungkapkan sesuatu, aku tau kamu pasti sudah tau apa maksudku?", kata Aldo.
Ya Tuhan, apakah Aldo akan mengungkapkan cinta padaku?? Aku sangat sayang padanya. Namun sangat mustahil jika aku mengakui perasaanku yang sebenarnya. Dia akan tetap menjadi adik tiriku, bahkan sudah kuanggap adik kandungku.
"Ungkapkan saja do, aku tak begitu mengerti", kataku.
Benar. Dia berkata bahwa dia mencintaiku, serta dia memohon padaku untuk menjadi kekasih sekaligus tunangannya. Hatiku seakan disambar petir. Ini tak mungkin. Sungguh. Aku pun menyudahi kunjungannya. Aku pamit untuk tidur tanpa memberi respon apapun. Hanya sebatas kata maaf dan tak bisa. Aku tak bisa menahan airmata ini lama-lama.
Keesokan harinya, aku memberikan jawaban untuk Rosi. Sekarang, aku adalah kekasihnya. Maafkan aku Aldo. Seandainya hubungan masa lalu kita tak serumit itu. Aku sangat mencintaimu.

End

0 komentar:

Post a Comment

 
TOP