Di dalam diamku
Sang surya menyingsing. Itulah waktu yang paling ku benci dimana aku harus menjalani aktifitas yang sangat membosankan dan melelahkan. Ku buka jendela dan kurasakan udara sejuk pagi itu. Kesadaran itu lagi lagi muncul, aku adalah seorang cowok misterius. Aku merasakan hal yang berbeda dengan diriku, seperti film amerika yang mengisahkan mengenai seseorang dengan kepribadian yang berbeda-beda dari hari ke hari. Itu sangat menakutkan.
ABG 18 tahun. Terlihat keren dengan postur yang tegap dan tinggi. Aku sering sekali melamunkan tentang kepribadianku. Ataukah aku adalah orang yang tak memiliki percaya diri? Ikut sana ikut sini?. Labil secara tepatnya. Apakah seperti ini rasanya labil di masa remaja?. Terkadang terlihat sangat baik, dilain waktu sangat menyebalkan dan egois. Aku merasa tak berhak untuk memiliki teman. Aku merasa tak sepadan dengan mereka. Hah.. Aku capek. Ataukah aku adalah seseorang yang sangat rendah diri?.
Kelas begitu semrawut. Aku menempati bangku paling belakang. Reza adalah teman sampingku. Dia begitu pendiam. Aku pun bingung harus bagaimana memulai pembicaraan dengannya. Namun, aku sering ke kantin bersamanya. Siang ini bertambah suntuk ketika aku melihat genknya Aji, Rino, Elvin dan Faris membuat kelas menjadi riuh dengan ketawaan gak jelas tanpa aku tertawa satupun. Terlihat seperti siswa terdiskriminasi. Ya, hanya aku dan beberapa cowok culun di bangku reyot sana seperti tak dianggap. Yaudahlah lupakan itu.
Sekarang adalah pelajaran sosiologi. Guru bercerita panjang lebar mengenai masa SMA nya dulu, cinta pertama. Terdengar begitu indah dan melegenda. Anak sekelaspun memberi oplosan tepuk tangan yang sangat meriah. Termasuk aku. Pikiranku pun melesat di sebuah taman nan hijau dengan sesosok bidadari tersenyum menatapku dan menawariku untuk menjadi pacarnya. Aku sadar itu sebatas komedi putar. Bel istirahat mengantarkan aku menuju kantin yang damai. Bersama ke dua anak culun ini aku duduk bersama di salah satu serambi kantin. Pesanan mi ayam pun segera datang dan kusantap. Tanpa obrolan aku melewatkan kelezatan mi ayam itu. Sungguh!! Aku seperti di neraka dunia.
"Ardel!!", suara anak sebelah yang mengejutkanku. Bukan karena merasa dipanggil, namun aku yakin pasti Ardel ada di sekitar sini. Tadi pagi aku sms menanyainya mengenai ekskul untuk memulai rencana pendekatanku dengan dia. Aku malu setengah mati jika harus berpapasan dengannya. Aku pun sok sok an menelengkan kepalaku dari anak yang memanggil di sebelah.
Tak kusangka Ardel malah sedang tersenyum menyapaku di depan pandanganku yang sedang berjalan menuju Sisca. Lantas, aku pun menjawab senyumannya. Lalu langsung kulangkahkan kaki meninggalkan kantin itu.
Langit pun menampakkan bintang dan bulan. Dari atas atap rumahku, fenomena ini menjadi hal pelukis hari-hariku. Sendirian menatap langit dengan tangan memegang hp memulai untuk menjadi stalker rahasia. Kampret, Ardel semakin istimewa dimataku. Namun sayang, aku tak sebanding dengannya. Puluhan cowok juga menjadi pengagum sekaligus saingan. Apa yang harus aku lakukan?. Aku pun tak kuat dengan pikiran yang terus menerus menghantui diriku untuk melakukan perjuangan sepihak. Tapi aku berfikir itu hal yang sia sia. Palingan juga nihil hasilnya. Ku turuni anak tangga dan kumatikan semua lampu rumah. Kesunyian yang sudah biasa ini seakan menjadi pelengkap malamku yang tenang.
End
Sang surya menyingsing. Itulah waktu yang paling ku benci dimana aku harus menjalani aktifitas yang sangat membosankan dan melelahkan. Ku buka jendela dan kurasakan udara sejuk pagi itu. Kesadaran itu lagi lagi muncul, aku adalah seorang cowok misterius. Aku merasakan hal yang berbeda dengan diriku, seperti film amerika yang mengisahkan mengenai seseorang dengan kepribadian yang berbeda-beda dari hari ke hari. Itu sangat menakutkan.
ABG 18 tahun. Terlihat keren dengan postur yang tegap dan tinggi. Aku sering sekali melamunkan tentang kepribadianku. Ataukah aku adalah orang yang tak memiliki percaya diri? Ikut sana ikut sini?. Labil secara tepatnya. Apakah seperti ini rasanya labil di masa remaja?. Terkadang terlihat sangat baik, dilain waktu sangat menyebalkan dan egois. Aku merasa tak berhak untuk memiliki teman. Aku merasa tak sepadan dengan mereka. Hah.. Aku capek. Ataukah aku adalah seseorang yang sangat rendah diri?.
Kelas begitu semrawut. Aku menempati bangku paling belakang. Reza adalah teman sampingku. Dia begitu pendiam. Aku pun bingung harus bagaimana memulai pembicaraan dengannya. Namun, aku sering ke kantin bersamanya. Siang ini bertambah suntuk ketika aku melihat genknya Aji, Rino, Elvin dan Faris membuat kelas menjadi riuh dengan ketawaan gak jelas tanpa aku tertawa satupun. Terlihat seperti siswa terdiskriminasi. Ya, hanya aku dan beberapa cowok culun di bangku reyot sana seperti tak dianggap. Yaudahlah lupakan itu.
Sekarang adalah pelajaran sosiologi. Guru bercerita panjang lebar mengenai masa SMA nya dulu, cinta pertama. Terdengar begitu indah dan melegenda. Anak sekelaspun memberi oplosan tepuk tangan yang sangat meriah. Termasuk aku. Pikiranku pun melesat di sebuah taman nan hijau dengan sesosok bidadari tersenyum menatapku dan menawariku untuk menjadi pacarnya. Aku sadar itu sebatas komedi putar. Bel istirahat mengantarkan aku menuju kantin yang damai. Bersama ke dua anak culun ini aku duduk bersama di salah satu serambi kantin. Pesanan mi ayam pun segera datang dan kusantap. Tanpa obrolan aku melewatkan kelezatan mi ayam itu. Sungguh!! Aku seperti di neraka dunia.
"Ardel!!", suara anak sebelah yang mengejutkanku. Bukan karena merasa dipanggil, namun aku yakin pasti Ardel ada di sekitar sini. Tadi pagi aku sms menanyainya mengenai ekskul untuk memulai rencana pendekatanku dengan dia. Aku malu setengah mati jika harus berpapasan dengannya. Aku pun sok sok an menelengkan kepalaku dari anak yang memanggil di sebelah.
Tak kusangka Ardel malah sedang tersenyum menyapaku di depan pandanganku yang sedang berjalan menuju Sisca. Lantas, aku pun menjawab senyumannya. Lalu langsung kulangkahkan kaki meninggalkan kantin itu.
Langit pun menampakkan bintang dan bulan. Dari atas atap rumahku, fenomena ini menjadi hal pelukis hari-hariku. Sendirian menatap langit dengan tangan memegang hp memulai untuk menjadi stalker rahasia. Kampret, Ardel semakin istimewa dimataku. Namun sayang, aku tak sebanding dengannya. Puluhan cowok juga menjadi pengagum sekaligus saingan. Apa yang harus aku lakukan?. Aku pun tak kuat dengan pikiran yang terus menerus menghantui diriku untuk melakukan perjuangan sepihak. Tapi aku berfikir itu hal yang sia sia. Palingan juga nihil hasilnya. Ku turuni anak tangga dan kumatikan semua lampu rumah. Kesunyian yang sudah biasa ini seakan menjadi pelengkap malamku yang tenang.
End
0 komentar:
Post a Comment